Remaja Senja

Usia itu seperti senjata, ada saat dimana kita bisa memanfaatkannya, ada saat dimana kita bisa menjadi korbannya. Usia mungkin menjadi patokan yang mendasar bagi manusia sebagai tolak ukur tingkat kedewasaan seseorang. Singkatnya, usia dapat diukur berdasarkan hitungan matematika, karena sebagian besar orang berpendapat bahwa semakin besar angka usia seseorang, maka sewakin dewasa pula orang tersebut. Tapi, terkadang kita melupakan satu hal penting dalam menentukan tingkat kematangan seseorang, sesuatu yang tidak berwujud, hanya dapat dirasakan, pola pikir.

Ini tentang ego si remaja senja, terutama jika itu berbicara soal masa depan dan komitmen. Cerita pelik tentang idealisme seorang pria dan kisah asmaranya, benturan antara sesuatu yang dinamakan “idealisme cinta pria” dan “idealisme cinta wanita”. 

“aku cinta kamu apa adanya, aku tahu kita memang sudah tidak ada hubungan apa-apa, tapi aku bersedia menunggu, biarkan aku menunggu, aku serius sama kamu, aku sayang sama kamu” katanya, berusaha meyakinkanku soal kesungguhan cintanya lewat telepon beberapa minggu lalu. Getaran cintanya sama kuatnya dengan getaran smartphone-ku yang tidak pernah sepi notifikasi chat dan telepon dari dirinya, entah itu pertanyaan seputar kabarku atau sekedar megingatkan makan, ibadah atau hal-hal terkait kegiatanku. Sepele, tapi dirindukan.

Menyenangkan memang, ada yang sebegitu perhatiannya kepadaku. Aku bersyukur dan menikmatinya, namun disaat yang bersamaan membuatku merasa tegang dan ingin menghilang. Aku masih belum siap untuk menanggung beban cintanya yang begitu meluap-luap. Jangan pandang aku sebagai pecundang, aku hanya belum siap dan belum percaya diri untuk menerima cinta darinya. selain itu, untuk saat ini aku tidak tahu bagaimana cara membalas cintanya, karena cintaku belum sekuat cintanya. Mungkin baginya, cinta itu fantasi, tapi bagiku, cinta adalah realita.

Malam itu, kita sepakat untuk bertemu membahas kisah asmara sejoli remaja senja yang cukup pelik ini, sedikit malas tapi memang harus dituntaskan. Aku tidak suka memberikan hal yang tidak pasti, karena akan membebani pikiranku, walau sedikit tetap saja mengganggu.

“yaudah kita bisa jalanin aja dulu, kita memang nggak tahu gimana kedepannya, tapi aku rasa kita bisa melewati ini, percayalah, jika kamu tidak percaya pada dirimu sendiri, maka cukup percaya padaku!” ucapnya, memulai percakapan.

Terdengar agresif dan sedikit posesif, cinta terbukti bisa merubah segalanya. Pada awalnya, cinta menawarkan sesuatu yang dinamakan kebahagiaan, tapi semakin lama cinta bersarang, justru bisa membuat kita menjadi seseorang paling menderita di dunia, bila kita tidak tahu cara merawatnya. Bukan aku, tapi dia.

“bukan perkara kita jalanin aja, tapi maaf  dengan situasiku saat ini dan umurku sudah bukan lagi untuk main-main, aku harus fokus terhadap studi dan karirku. Biarkan aku berkreasi dengan kebebasanku, biarkan aku fokus terhadap hal yang harus aku bereskan terlebih dahulu, tanggung jawab dan beban yang sedang aku pikul, sudah lebih dari apa yang aku mampu, biarkan aku membereskannya satu persatu, baru aku memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan cinta”

“itu bukan alasan yang tepat untuk menolakku dan cintaku yang nyata ini, aku bersedia menunggumu, meski itu memakan waktu satu, lima hingga sepuluh tahun kedepan atau lebih.. kamu hanya cukup memintanya !” paksanya dengan nada sendu dan penuh emosi hingga meneteskan air mata yang sudah tidak bisa ditahannya sejak duduk di sofa kusam restoran khas amerika ini.

Semakin tenggelam dalam dialog hebat ini, semakin terlihat jurang pemisah antara kisah asmara yang penuh fantasi dan kesuraman realita. Setidaknya menurutku begitu.

“saat ini aku hanya ingin fokus terhadap hal-hal apa yang menurutku benar, aku tidak ingin kamu menunggu untuk sesuatu hal yang tidak pasti, biarkan aku dengan kebebasanku terlebih dahulu, tolong hormati keputusanku” jawabku, mencoba menenangkannya tanpa mencoba merangkulnya. Hanya memberinya pundak untuk menangis.

Lalu dia pun menangis, terisak-isak membayangkan fantasinya tidak sesuai dengan ekspektasinya, tidak seperti kisah-kisah broadway di Hollywood dengan happy ending-nya.

“cukup, biar aku yang menjadi korban dari yang namanya cinta, kamu bahagianya saja” kataku, kembali mencoba peruntunganku untuk menenangkan hatinya.

Perlahan aku pun mendapatkan perhatiannya, dia pun mulai berhenti menangis lalu menatapku terheran, aku tahu ada sejuta pertanyaan yang ingin dia tanyakan, itu terpancar di matanya. Menggelikan, tapi itu adalah ekspresi yang semakin ingin membuatku menghilang, tapi akan selalu kurindukan, karena mungkin untuk saat ini, itu adalah kali pertama dan terakhir aku melihatnya.

“aku tidak ingin melihat orang yang paling aku sayang di dunia ini menunggu untuk sesuatu hal yang tidak pasti. Aku tidak mau membuat kamu mengorbankan satu atau hingga sepuluh tahunmu hanya untuk aku yang masih belum pasti, sedangkan kamu bisa menemukan kebahagiaanmu disana. Umurmu, masa depanmu, jangan bebankan itu padaku, biarkan itu menjadi tanggung jawab kita masing-masing..”

Tatapan sejuta pertanyaan itu pun lalu berubah menjadi tatapan haru biru perlahan meneterskan air mata, sebuah tangisan yang melegakan dan menghangatkan hati.

“aku ingin fokus dalam membenahi diriku saat ini untuk diriku di masa depan, apalagi jika terkait tentangmu, aku harus menjadi sosok yang hebat sebagai pendamping, karena nantinya aku tidak hanya ingin menjagamu, tapi anak-anak kita.. diriku saat ini masih belum layak untuk bersanding denganmu, tidak tahu jika itu satu atau beberapa tahun kedepan, kita lihat saja takdir akan membawa kita kemana. Semoga Tuhan menyetujui rencanaku” tuturku hati-hati.

“untuk saat ini, biarkan aku berjuang dengan caraku, aku punya mimpi yang harus aku wujudkan, dan ada namamu di dalam list mimpiku.. oleh karena itu aku harus gigih mencari cara untuk mewujudkannya, ini akan menjadi perjuanganku, doakan aku…” tuturku dengan suara sendu namun penuh semangat yang menggebu, hingga tak terasa tetes demi tetes air mataku pun bermuara tepat di atas celana jeans robek hitamku.

Aku tidak tahu darimana rasa percaya diri dan keberanian ini muncul, meluap begitu saja, tak direncakan juga tak dilebih-lebihkan. Mengalir apa adanya, atau mungkin ini sisi baik dari idealisme asmara realita ku? aku harap begitu.

Dialog hebat itu berakhir dengan drama yang tidak bisa dihindari, kita berdua terlena dalam gelombang samudra haru biru hingga diujung malam. Dari kejadian hari itu aku belajar, jika kita, ya kita semua adalah korban dari yang namanya cinta dan usia, kisah asmara dua remaja senja, dimana usia, keterbatasan diri, toleransi, cita dan angan menjadi masalah utama namun sekaligus solusi.

Karena pada akhirnya kita sadar, jika usia itu bukan sesuatu yang harus ditakuti bukan sesuatu yang harus kita banggakan pula, tapi usia adalah angka yang akan selalu mengingatkan kita setiap tahunnya tentang hal-hal apa saja yang sudah, sedang dan akan kita lakukan kedepannya, karena usia dan hati, tidak ada yang tahu, hanya Tuhan dan diri kita masing-masing.

Tapi, ada satu hal yang aku tahu, di usia remaja senja ini aku tahu apa yang harus aku kerjakan, untuk diriku di masa depan.

Ilham Widi Akbar

Januari 2018 - Remaja Senja


Design by Ilham Widi Akbar - Kamar Kreatif Studio

Comments