Setengah Cangkir Kopi

Siap atau tidak, perubahan akan selalu meminta.. tidak, bukan meminta, lebih tepatnya agak sedikit memaksa kita untuk beradaptasi dengannya. Jangan berharap semua berjalan sesuai skenariomu, wahai “Sang Tuan Perubahan”, beberapa diantara kita ada yang lantang menolak. Menolak bukan karena tidak percaya dengan adanya kebaikan di masa depan, hanya saja, ada yang sedang menikmati zona nyamannya. Tidak ada salahnya untuk sejenak menikmati zona nyaman, meski itu berlawanan dengan quotes-quotes caption-able yang bertebaran di Google, meski hanya sesaat, biarkanlah bunga yang sedang mekar, menari dengan indahnya tertiup angin hembusan dari Bandung utara ke Bandung selatan.

Kita tahu bahwa zona nyaman adalah zona terbaik dimana seseorang bisa menikmati bagaimana indahnya hidup hanya dengan seruputan teh limun hangat di pagi hari ditemani lembutnya cahaya mentari dan kicauan burung-burung yang terkurung dalam sangkar milik tetangga.

Pada saat itu, aku terlalu naif, hanya menikmati zona nyamanku sehingga tidak sempat memikirkan bahaya yang akan kuhadapi nantinya. Aku bahkan tidak mempersiapkan mentalku untuk itu, walau sebenarnya aku tahu jika “Sang Tuan Perubahan” berdiri hanya beberapa inci didepanku. Anehnya, aku hanya diam saja, terpaku seperti remaja lugu dan bodoh pada umumnya, kupikir aku sudah cukup dewasa menanggapi setiap ketidakpastian di dunia ini, tapi nyatanya aku hanya menghabiskan waktuku berduaan dengannya.

Wajar saja, pada saat itu level cintaku sedang dipuncak tertinggi, Himalaya pun bukan tandingannya. 

Aku diam bukan karena tidak siap dengan perubahan, hanya saja aku tidak ingin diganggu  oleh siapapun dan oleh apapun, apalagi ketika aku sedang menikmati waktuku berduaan dengannya. Meski itu hanya mengobrol santai, menertawakan hal tidak penting, menonton “The Return of Superman” atau bahkan membujuknya secara hati-hati dengan sedikit candaan ketika dia marah dan cuek padaku, terutama jika aku berhasil membujuknya dan melihat senyum di wajahnya setelah tangisannya… ya Tuhan, aku sangat menikmatinya. Aku menikmati waktuku berduaan dengannya lebih dari apapun, bahkan membaca komik jepang atau menonton film favoritku pun tidak senikmat biasanya ketika aku berduaan dengannya. 

Tujuh hari dalam satu minggu masih terasa kurang bagiku, bahkan jika aku bisa, aku ingin menambahkan hari dalam satu minggu, sekitar tiga sampai empat hari, lebih banyak hari libur pastinya, karena di hari libur itu aku bisa berduaan dengannya dari pagi hingga malam. Berkeliling dengan motor trail usangku dari utara ke selatan dan mengitarinya, menikmati udara sejuk dan dinginnya kota Bandung, walau dia tidak begitu akrab dengan cuaca dingin, setidaknya aku bisa membuatnya hangat, dengan jaket dan semangkuk wedang ronde favorit kita yang terletak di kawasan pecinan di Kota Bandung.

Aku akan selalu ingat, ketika dimana kita berdua menikmati semangkuk wedang ronde hangat,  dikelilingi nuansa interior tahun sembilan puluhan yang khas beserta jajanannya dan lampu berwarna keemasan, mungkin bisa kubilang itu adalah nuansa yang membawa kenangan. Kita berbicara tentang banyak hal, menertawakan hal tidak penting.. walau sebenarnya aku lebih tertarik membicarakan tentangmu. Apa makanan yang kamu suka, apa warna yang kamu suka dan hal-hal yang tidak disukai olehmu. Semua itu akan menjadi harta karunku yang akan kusimpan baik-baik didalam kotak berwarna hitam kecoklatan di dalam memoriku.

Selagi menikmati wedang ronde dan mengobrol, kita menghabiskan malam dengan bermain bola beklen yang disediakan oleh pengelola kafe. Aku tidak begitu paham cara bermainnya sedangkan dia sangat mahir, pada akhirnya aku pun belajar darinya. Tapi, ternyata skor menangku lebih banyak dibandingkan dia yang mengajariku, memang, terkadang keahlian saja tidak cukup, kita butuh keberuntungan. Itu pun terjadi ketika aku mendekati dan memintanya menjadi pendampingku. Tapi, dalam hal permainan beklen aku tidak ingin begitu saja kalah, aku selalu serius dan bersungguh-sungguh. Bukan kerna aku ingin menang, aku hanya ingin dia tahu bahwa apapun yang kulakukan, aku selalu serius dan fokus untuk mendapatkan hasil terbaik dan itu pun berlaku terhadap hubunganku dengannya. Walau sesekali, aku sengaja mengalah. Aku sangat suka melihat ekspresinya ketika dia tersenyum lebar dan terlihat begitu bahagia setelah berjuang keras melawanku. Aku menikmatinya sebagaimana dia menikmati dirinya sendiri dengan kemenangan mutlak itu.

Waktu tidak aku biarkan berlalu begitu saja, tidak sedetikpun. Aku ingin memanfaatkan waktu bersamanya dengan baik, menciptakan kenangan yang semoga tidak akan pernah terlupakan. Karena pada saat itu, yang aku tahu, dalam beberapa minggu kedepan aku tidak bisa lagi berjalan berkeliling Bandung bersamanya hanya dengan ajakan sederhana melalui chat lewat Line “Aku jemput kamu nanti siang ya” ajakku, “Oke yang, cepetan ya, kalau kamu sempet aku titip Gehu Pedas” jawabnya. 

Gehu pedas itu akan selalu kubawakan, tanpa dia minta. Terdengar sangat sederhana, tetapi itu bukti nyata tentang kesungguhan rasa. Jika kalian ingin tahu, pada pertengahan Desember nanti semuanya tidak akan sesederhana seperti ajakan lewat chat itu, akan ada jarak diantara kita, yang aku harap hanya jarak titik koordinat saja yang terbentang dan terasa asing, bukan perkara rasa. Itu yang aku khawatirkan.

Berbicara soal zona nyaman, ya, kamu benar.. dia adalah zona nyamanku, dia yang membuatku bisa melupakan apa yang sedang terjadi dengan dunia dan seluruh isinya. Seakan-akan aku dan dirinya sedang menjadi pemeran utama dalam sebuah film romansa kisah kasih remaja dengan akhir yang bahagia. Setidaknya, skenario versiku seperti itu. Harus seperti itu. 

Menuju hari perpisahan, aku masih belum mempersiapkan mentalku. Aku sengaja melupakan tentang perpisahan itu. Perlahan, ada hal aneh terjadi padaku, dadaku terasa berat, seperti ada yang mengganjal di tulang rusukku, semakin mendekati hari yang tidak ingin aku sebutkan namanya itu, dadaku semakin berat, aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku, ini begitu menyesakkan.. membuat hatiku ngilu, terkadang membuatku menangis, menahan rasa sakitnya yang tak tertahankan. Tuhan, jika saja aku bisa mengendalikan waktu.. akan kuhentikan waktu hanya untuk bisa terus bersamanya, jika perlu selamanya. Meski koleksi buku atau manga langka kesayanganku menjadi taruhannya.

Hingga hari yang tidak aku inginkan dan tidak pernah aku tunggu itu tiba, percaya tidak percaya, aku membantunya merapikan seluruh barang-barangnya untuk dibawa kembali ke rumahnya yang berada diluar kota. Dengan senyum diwajahku, agak sedikit kupaksakan sebenarnya. Lalu aku pun mengucapkan salam perpisahan, walau terasa berat.

“Akhirnya, tiba juga ya… gak kerasa waktu berlalu begitu saja, padahal kayanya baru kemarin aku PDKT terus nembak kamu. Walau proses PDKTnya kelamaan, bahkan hampir gak jadi, terus buat ngomong “mau gak jadi pacarku?” aja butuh pemanasan 3 jam, sampe kamu ngantuk bahkan dikira aku curhat soal mantan hahaha.. eh tau-tau udah mau ditinggal aja sekarang. Jangan bandel ya disana, aku titip hati dan kepercayaanku, tolong jaga baik-baik, aku disini juga sama, aku gak mau macem-macem, aku gak bisa bayangin kehilangan kamu… “ tuturku dengan nada sedikit bercanda, agar terlihat cool dan tanpa beban, walau sebenarnya tidak.

Dia hanya menangis walau aku tahu dia juga sedikit tertawa, setidaknya aku tahu bahwa dia terhibur mendengarkanku, itu saja sudah cukup memberiku kekuatan untuk menahan air mataku.

Aku tidak ingin dia tahu tentang perasaanku yang sebenarnya, walaupun dia mungkin sudah tahu dari awal.. tapi aku tetap tidak ingin terlihat cengeng didepannya, jadi aku berusaha sekuat tenaga menutupi perasaanku dengan meniru salah satu adegan dalam film Titanic, ketika dimana Jack melepas cinta dalam hidupnya, Rose. Dia mengucapkan salam perpisahan dengan terlihat gagah dan tenang, padahal dia tahu jika dirinyalah yang akan mati kedinginan lalu tenggelam dimakan oleh lautan tanpa jejak. Tragis memang, tapi inilah resikonya jika berhadapan dengan “Sang Tuan Perubahan”. Akan selalu ada sesuatu yang dikorbankan, entah itu waktu atau perasaan. Semoga itu untuk kebaikan di masa depan, setidaknya aku melihatnya dari sudut pandang yang positif.

Hari itu, tepatnya  pada pertengahan Desember beberapa bulan lalu, masa-masa terbaik dalam hidupku pun menemui ujung ceritanya. Bunga yang sedang bermekaran itu, kini sudah mulai terlihat menguning bahkan beberapa diantaranya ada yang berguguran. Tentang bunga asmaraku? belum tahu, aku belum memikirkannya. Tunggu saja, mungkin ada di ujung cerita.

Cintaku dan cintanya yang dulu begitu menderu, hampir sama dengan kerasnya dengan deru suara mesin 150cc milikku, bahkan melebihi cinta kepada “Sang Pemberi Cinta”, kini sudah lebih tenang dan tidak menggebu seperti cintanya para remaja. Cintaku bertransformasi menjadi sebuah cinta yang sederhana. Gejolak asmara yang dulu selalu ingin bertemu, kini berubah menjadi asmara yang selalu merindu, meski tanpa lisan, kita percaya, jika kita saling menunggu untuk bertemu. Perubahan yang kami alami, terjadi bukan tanpa alasan, aku percaya mungkin semua ini memang sudah suratan, sebuah takdir dari Tuhan. Aku bingung, harus bersyukur atau marah, tapi sejenak terlintas dalam benakku, jika hubunganku dengannya ini adalah suratan takdir Tuhan, maka aku masih mempunyai kesempatan untuk menuliskan segala rencana, harapan dan angan-angan, siapa tahu Tuhan membacanya dan mewujudkannya. 

Pemikiran sederhana itu sebenarnya hanya untuk menguatkanku saja. Aku tidah tahu bagaimana nantinya, mungkin tidak ada yang tahu. Tapi untuk saat ini, yang aku tahu, aku perlu sabar menanti “Sang Tuan Perubahan” datang kembali.

Berbicara soal “Sang Tuan Perubahan”, pada awalnya kupikir “Sang Tuan Perubahan” lah pemeran antagonis dalam kisah cintaku ini, tapi ternyata sebaliknya. Justru “Sang Tuan Perubahan” lah yang memberikan kesempatan padaku untuk bertemu dengan dirinya dipojok ruangan sekre sebuah Program Studi di salah satu Universitas daerah Setiabudhi Bandung, dan aku diberikan kesempatan mencicipi rasa bahagia yang luar biasa dihari pertama ketika aku bertemu dengannya. Lalu “Sang Tuan Perubahan” pula lah yang memberikanku kesempatan untuk bersedih karena berpisah jarak dengannya.. tapi justru karena itulah, akhirnya aku tahu bagaimana caranya untuk bersyukur dan menikmati proses dari sebuah perubahan, terutama proses dari apa yang dinamakan sebuah pertemuan dan perpisahan.

Tanpa pengalaman itu, mungkin aku tidak akan pernah tahu arti sesungguhnya dari rasa memiliki dan melepaskan, lebih dari itu, aku belajar bagaimana cara mensyukurinya dan mengambil hikmahnya.

Dari apa yang telah kuamati dan kualami, “Sang Tuan Perubahan"  tidak menawarkan masa depan, tidak pula menawarkan kepastian, kebahagiaan atau kesuraman bersamanya, tetapi dia memberikan kita pelajaran dan kesempatan diri mempersiapkan ketidakpastian di masa depan. Terdengar rumit, tapi percayalah pada proses yang dibawa “Sang Tuan Perubahan”.

Sore ini, aku sedang duduk didepan laptopku, ditemani awan gelap dan rintik hujan di sudut sebuah kafe di kota Bandung, sendirian. Aku sedang mencoba menulis cerita manis nan pilu tentang kisahku ditemani secangkir kopi hitam hangat tanpa gula dan lagu sendu berjudul Di Atas Meja dari Payung Teduh. Ini adalah meditasiku, caraku melampiaskan sebagian emosiku. Aku tidak tahu cara lainnya yang cocok untukku, tapi menikmati waktu dan tenggelam dalam duniaku adalah hal terbaik yang bisa kulakukan, telebih ketika aku rindu kepadanya. Menurutku, rindu itu tidak berat, bahkan bisa terasa ringan apabila kita bisa mencurahkannya, walau itu hanya setengah atau seperempatnya, dalam kasus ini, aku mencurahkannya melaui sebuah tulisan sederhana tentang cinta. Berharap, dia akan membacanya suatu saat nanti dan mengetahui betapa aku mencintainya, tanpa ucapan, melainkan melalui perasaan yang kuselipkan melalui tulisan.

Aku menyeruput kopi hangatku sebelum dingin nantinya, kunikmati secara perlahan sembari merasakan sensasi pahit dan asamnya secangkir kopi hitam ini. Bagi sebagian orang mungkin terdengar esktrim tapi secangkir kopi tadi memberikanku energi lebih lewat kafein yang terkandung didalamnya. Kopi hitam tanpa gula ini tersisa setengah cangkir, warna hitamnya pun tidak sepekat ketika cangkir itu penuh. Dari hal sesederhana itu pun aku dapat menyimpulkan sebuah makna, jika kita mencintai seseorang cukup setengahnya saja. 

Karena menurutku, setengah cangkir sudah lebih dari cukup untuk menikmati kopi, itu pun berlaku dalam percintaan. Bukan karena takut nantinya terlalu pahit ketika diminum, tetapi biarkan saja sisanya kosong. Bagian yang kosong itu akan diisi oleh bahan lain, yang siapa tahu bisa membuat kopi hitam itu semakin nikmat. Bisa saja itu milk foam, hazelnut essence, cokelat hitam atau bahan lainnya yang tak diduga-duga..

Dalam hal ini, biarkan takdir, cinta dari kekasihmu dan kasih sayang Tuhan yang mengisi sisa setengah cangkir cinta milkmu itu, karena menurutku, itulah yang akan menyempurnakannya.

Lalu, soal kelanjutan cerita cintaku dengannya?

“Bunga asmaraku dengannya tidak pernah memilih tanah yang dipijakinya, bunga itu menari setiap kali tertiup hembusan angin, menikmati setiap dorongan dan tekanan yang datang dari arah manapun.. dan di musim apapun, bunga asmara itu selalu mekar dan terlihat indah”

Ilham Widi Akbar
Setengah Cangkir Kopi, Februari 2018


Ilustrasi by Ilham Widi Akbar / Kamar Kreatif Studio

Comments